Museum Subak berlokasi di desa Sanggulan, Kecamatan
Kediri Kabupaten Tabanan, tepatnya 20 Km dari arah barat kota Denpasar.
Dipilihnya desa ini sebagai tempat museum subak adalah atas pertimbangan
bahwa Subak Rijasa di kabupaten Tabanan pada tahun 1979 pernah meraih
juara nasional dalam program intensifikasi yang mengangkat nama Bali di
tingkat Nasional. Kedua, Kabupaten Tabanan adalah kabupaten yang
memiliki lahan sawah yang paling luas di Bali, sehingga dijuluki Lumbung
Beras pulau Bali. Pertimbangan ketiga, kabupaten Tabanan memiliki
jumlah subak paling banyak dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Maksud
lainnya adalah mengembangkan wilayah tersebut sebagai kawasan kunjungan
yang dapat dipadukan dengan objek wisata Tanah Lot. Luas lahan
seluruhnya setelah ditambah 6 hektar lagi adalah 8 hektar yang
dipergunakan oleh tiga lembaga yang mempunyai kaitan erat satu sama
lain. Lembaga tersebut adalah Sasana Budaya, Museum Subak, dan Pusat
Latihan Pengolahan Air atau Water Management Training Center.
Ketiga
lembaga tersebut di atas bergabung
pada satu areal yang luasnya 8
hektar, yang diberi nama “Mandala Mathika Subak”. Sistem ini sangat
terkenal di mancanegara karena memiliki sistem pengairan serupa seperti
Fai di Thailand dan Zangera di Filipina dengan gaung dan spesifikasinya
tidak seperti subak yang ada di Bali. Dengan semakin berkembangnya
teknologi sekarang, dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap segala aspek
kehidupan manusia dan sistem subak sendiri. Bila ini terjadi pada suatu
saat, subak yang merupakan aset budaya yang telah mengidentifikasikan
masyarakat Bali akan sulit dilacak. Kekhawatiran para pencipta budaya
ini pertama kali dicetuskan oleh I Gusti Ketut Kaler yang pada awalnya
mengusulkan untuk melestarikan sebuah subak guna dijadikan Cagar Budaya.
Usulan ini terus berkembang menjadi Museum Subak. Berbagai batasan
tentang subak telah dikemukakan, tetapi sebagai pegangan kita pilih
salah satu yang paling lengkap, di antaranya batasan sebagai hasil
kajian yang dilakukan di lapangan oleh Prof. Dr. Nyoman Sutawan dan
kawan-kawan tahun 1966, sebagai berikut: Subak adalah organisasi petani
lahan basah yang mendapatkan air irigasi dari suatu sumber bersama,
memiliki satu atau lebih Pura Dugul (untuk memuja Dewi Sri, manifestasi
Tuhan sebagai Dewi Kesuburan), serta mempunyai kebebasan di dalam
mengatur rumah tangganya sendiri maupun di dalam berhubungan dengan
pihak luar. Museum Subak terdiri dari bangunan tertutup dan bangunan
terbuka. Bangunan tertutup terdiri dari Gedung Pameran, yang memamerkan
benda-benda yang berkaitan dengan pekerjaan petani, Gedung Audio-visual
yang menceritakan kegiatan subak dalam kaitannya dengan pengolahan air,
Gedung Perpustakaan dan Kantor.
Sedangkan bangunan terbuka merupakan
visualisasi peragaan subak dalam bentuk mini terdiri dari; sebuah kolam
berfungsi untuk penampungan air,
telabah berfungsi untuk mengalirkan air
dari kolam ke saluran primer, telabah Gede, ke saluran sekunder tersier
(telabah Pemaron), saluran kuarter (telabah Penyacah), ke tembuku dan
akhirnya ke petakan sawah. Dan juga dibangun sebuah rumah petani
tradisional yang terbagi menjadi 3 yaitu: utama mandala, madya mandala,
dan nista mandala. Benda-benda yang dipakai oleh petani yang dipamerkan
di Gedung pameran meliputi; kapak, gergaji, linggis, pacung tunggal,
panyong, penampad, patuk, geganjing, tenggala atau bajak, pemelasah,
anggapan atau ani, arit, ketungan, lesung, luu, sidi adalah alat untuk
mengolah padi menjadi beras, pengedangan, payuk, kuskusan, paso, jeding,
pengorengan, cagag, dan sok nasi. Disamping itu petani juga melakukan
upacara, diantaranya: Upacara Ngawiwit; upacara yang dilaksanakan pada
waktu petani mulai menabur benih, Upacara Mamula merupakan upacara yang
dilaksanakan pada saat menanam, Upacara Neduh; upacara yang dilakukan
pada waktu padi berumur 1 bulan dengan maksud agar tidak diserang hama,
Upacara Biukukung adalah upacara yang dilakukan pada saat padi sedang
bunting, Nyangket; upacara dilakukan pada saat panen, Mantenin; upacara
yang dilakukan pada saat padi sudah dilumbung, Upacara Mapag Toya;
upacara yang dilakukan di dekat bendungan menjelang pengolahan tanah,
Nayeb adalah upacara yang dilakukan dengan maksud agar padi tidak
diserang hama penyakit, dan Upacara Ngusaba merupakan upacara yang
dilakukan menjelang panen.
Gambar Selengkapnya:
No comments:
Post a Comment